1. Pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama.
  
            Ilmu Perbandingan Agama adalah salah satu cabang ilmu  pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari  suatu kepercayaan (agama) dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman  ini mencakup persamaan (kesejajaran) dan perbedaannya. Selanjutnya  dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman  keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia dapat  dipelajari dan dinilai ( Ali, 1975: 5).
            Di samping nama Ilmu Perbandingan Agama, ada beberapa  nama lain dari Ilmu perbandingan Agama. Nama-nama tersebut antara lain: 
Allgemeine  Religionswissenschaft, Science of Religions, The History of Religions,  Comparative Studies of Religion, Phenomenology of Religion, Historical  Phenomenology, The Study of World Religions dan The Comparative Study of  Religions (Daya dan Beck, 1990: 57), 
Systematic Science of Religion (Daya dan Beck, 1992: 30), 
Vergleichende Religionswissenschaft (Daya dan Beck, 1992: 165), 
Ilmu Agama-agama (Daya dan Beck, 1990: 28), 
Ilmu Agama, Sejarah Agama, Fenomenologi Agama (Daya dan Beck, 1990: 126). Dari beberapa nama tersebut nama 
Phenomenology of  Religion dan 
Fenomenologi Agama  kadang-kadang digunakan untuk nama suatu bidang studi tertentu yang  lebih sempit cakupannya dari  studi Ilmu Perbandingan Agama, yaitu  mengkaji agama dengan metode fenomenologis saja.
            Berdasarkan nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan Agama  di atas, jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya  membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis,  fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah  atau scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah dibahas mengenai  metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.
2. Obyek Ilmu Perbandingan Agama
            A. Mukti Ali, seorang pakar Ilmu Perbandingan Agama di  Indonesia, menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah   pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari  tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai  dengan ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat  fundamental dan universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama  tentang Tuhan? Apakah konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi  agama tentang dosa dan pahala? Apakah hubungan kepercayaan dengan akal?  Bagaimanakah hubungan antara agama dengan etika? Apakah fungsi agama  dalam masyarakat? dsb. ( Ali, 1975: 7).
Berbeda dengan A. Mukti Ali, Joachim Wach dari sudut pandang yang  lain, berpendapat bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pengalaman  agama.   Menurut Joachim Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman  psikis biasa. Pengalaman agama mempunyai beberapa kriteria tertentu.  Kriteria pertama, pengalaman agama merupakan suatu tanggapan terhadap  apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Kedua, pengalaman agama  merupakan tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan  kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak. Ketiga, pengalaman  agama merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan,  dan mendalam dari manusia. Keempat, pengalaman agama merupakan  pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut  mengandung imperatif, menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak  tergoyahkan (Wach,   1969: 31-36). Pengalaman agama yang subyektif ini  diekspresikan atau diungkaplan dalam tiga ekspresi, yaitu: a. pengalaman  agama yang diungkapkan dalam  pikiran. b. pengalaman agama yang  diungkapkan dalam tindakan. c. pengalaman agama yang diungkapkan dalam  kelompok (Wach, 1969: 97). Pengalaman agama yang diungkapkan dalam  pikiran terutama berupa 
mite, doktrin, dan 
dogma. Pengalaman agama ini dapat berbentuk 
symbol, 
oral, dan 
tulisan.
 Tulisan-tulisan
 bisa berupa 
kitab suci dan tulisan 
klasik Untuk keperluan memahami kitab suci diperlukan literature yang sifatnya menjelaskan, misalnya 
Talmud, Zend dalam Pahlevi, 
Hadis dalam Islam, 
Smrti di India, tulisan-tulisan Luther dan Calvin dalam Protestan. Agama-agama besar juga mempunyai 
credo, yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, 
syahadat dua belas dalam Kristen, 
dua syahadat dalam Islam, dan 
shema  dalam Yahudi. Adapun tema yang fundamental dalam pengalaman agama yang  diungkapkan dalam pikiran adalah Tuhan, kosmos, dan manusia (
Teologi, 
kosmologi, dan 
antropologi).                         Selanjutnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan  berupa 
kultus  (peribadatan) dan pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap  Realitas Mutlak harus dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan  oleh siapa? Apakah ibadah itu harus dilakukan sendiri-sendiri atau  secara berjamaah? Termasuk dalam uangkapan perbuatan ini adalah kurban  dengan segala seluk-beluknya. Termasuk dalam pembahasan ini adalah  maslah 
imitation, yaitu mencontoh tingkah laku dan kehidupan  seorang pemimpin agama. Termasuk dalam pembahasan ini adalah keinginan  supaya orang lain juga beragama seperti dia, yaitu masalah 
missionary atau 
dakwah.                                                                                                      Akhirnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa  kelompok-kelompok keagamaan (
Ecclesia atau 
Gereja, 
Kahal, Ummah, 
Sangha).   Di sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama  dengan masyarakat umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan  mereka baik 
antar-agama maupun 
intra-agama sendiri, fungsi, 
kharisma, umur, seks, keturunan, dan 
status (Ali, 1993: 79-81).
            Ketiga ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran,  tindakan, dan kelompok) yang menjadi obyek Ilmu Perbandingan Agama   meliputi semua agama yang ada dan aliran-alirannya.
            Kedua pandangan di atas dapat digabungkan sebagai obyek  Ilmu Perbandingan Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan  universal bagi setiap agama dan pengalaman agama, keduanya merupakan  aspek-aspek penting dari obyek Ilmu Perbandingan Agama.
3. Metode-metode Ilmu Perbandingan Agama.
            Ada beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut ialah:
 
1. Metode Historis.
Dalam metode ini agama dikaji dari segi atau aspek periodesasi dan  saling pengaruh antara agama yang satu dengan agama lainnya. Di sini  dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan lembaga-lembaga agama  melalui periode-periode perkembangan  sejarah tertentu, serta memahami  peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode  tersebut (Wach, 1969: 21).
Agama yang dikaji dalam metode ini bukan hanya agama secara  keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji aliran-aliran tertentu dari suatu  agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu agama dalam periode  tertentu dalam sejarah (Jongeneel, 1978:  49).
Bahan dalam kajian in biasanya mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat literer (
filologis) atau non-literer  (
arkeologis) (Jongeneel, 1978: 51).
Beberapa contoh kajian histories misalnya kajian C.J. Bleeker dan G. Widrengen dalam bukunya 
Historia Religianum, Handbook for the History of Religious. R.J.Z. Werblowsky dalam bukunya 
Histoire des Religions. Ugo Bianchi dalam bukunya 
La Storia delle Religioni. J.P. Asmussen dan J. Laessoe dalam bukunya 
Handbuch der Religiongeschichte. H. Ringgren dan A.V. Strom dalam bukunya 
Religious of Mankind.  Today and Yesterday. T.O. Ling dalam bukunya 
History of Religion East and West. E. Dammann dalam bukunya 
Grundriss der Religionsgeschichte, dan S.A. Tokarev dalam bukunya 
Die Religion in der Geschichte der Volker (Whaling, 1984: 57-63).
Para sarjana yang mempergunakan metode historis ini antara lain: C.J.  Bleeker, G. Widrengen, A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M. Muller  (Jongeneel, 1978: 59).
 
 
2. Metode Sosiologis.
Dalam metode ini dikaji problem-problem agama dan masyarakat dalam  hubungannya satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji dalam metode  ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya  terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya; pengaruh  masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama,  golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama  terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan  atau fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara  masyarakat dengan struktur intern persekutuan agama (segi  keluar-masuknya jadi anggota, segi kepemimpinannya, toleransinya,  kharismanya, dsb.); pengaruh gejala-gejala kemasyarakatan (
mekanisasi, 
industrialisasi, 
urbanisasi,  dsb.) terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara,  politik, ekonomi, hubungan-hubungan sosial, dsb. (Jongenel: 1978:  68-69).
      Beberapa contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian  Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile  Durkheim bentuk dan macam 
totem tergantung pada bentuk  masyarakat. Dalam kajian lainnya ia menghubungkan antara gejala bunuh  diri  dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya gejala bunuh diri di  kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan Protestan. Hal  itu terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak  tergantung pada 
tradisi, sehingga problem-problem yang menimpa  anggota-anggotanya dapat diselesaikan melalui tradisinya. Sedang di  kalangan Protestan lebih bersifat individual, sehingga problem-problem  yang menimpa anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan secara individual.
Contoh lainnya misalnya kajian Max Weber dalam bukunya 
The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism    tentang hubungan antara ajaran etik Protestan dengan sikap kapitalis  (Nottingham, 1985: 136-137). Renato Poblete SJ dan F. O’Dea dalam  penelitiannya pada para imigran Puerto Rico di New York dengan judul  “Anomie and the Quest for community,” The Formation of Sects among the  Puerto Ricans of New York,” menjelaskan bahwa konversi pemeluk Gereja  Katolik ke gereja Pentecostal bermotif pembebasan dari krisis sosial dan  situasi anomi yang menimbulkan krisis batin (Hendropuspito, 1986:  85-86).  
Beberapa sarjana yang menggunakan metode sosiologis antara lain:  Joachim Wach, Milton Yinger, G. Le Bras, Gustav Mensching, (Jongeneel,  1978: 69), Fustel de Coulangers, Emile Durkheim, Max Weber, Ernst  Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler (Wach, 1969: 23).
3. Metode psikologis.
Di sini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun  kelompok (Wach, 1969: 23). Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan  interaksi antara agama dengan jiwa manusia (Jongeneel, 1978: 86). Kajian  psikologis ini meliputi masalah 
arketipus, symbol, 
mite, 
numinous, 
penyataan (wahyu), iman, pertobatan, 
revival,  suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa,  pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri, kelepasan, 
askese, kesucian, 
mistik, 
meditasi, 
kontemplasi, 
ekstase, orang-orang 
introvert agama, orang-orang 
ekstrovert agama, kehidupan jiwa orang-orang 
psikose, 
psikopati, 
neurose, dsb
            Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis  misalnya: kajian agama yang dilakukan oleh J. M. Charcot dan P. Janet.  Mereka menyimpulkan bahwa agama dapat dijabarkan terutama kepada 
neurose dan 
histeri.  Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu  gejala dari tahun-tahun masa kecil yang hidup terus  dalam kedewasaan,  suatu ketidakdewasaan yang kolektif, suatu 
simtom neurotis, suatu impian, suatu 
illusi.  W. Wund berpendapat bahwa agama ditinjau dari segi asal-usulnya  merupakan gejala yang berhubungan dengan kehidupan jiwa bangsa, bukan  kehidupan jiwa individu. William James menyimpulkan bahwa orang 
healthy minded soul dapat mengembangkan diri secara selaras, sedang orang yang 
sick soul bersifat 
pesimistis dan bertabiat 
melankolis (Jongeneel, 1987: 88-89). Gordon Allport membagi masyarakat religius ke dalam tipe 
instrinsik dan 
ekstrinsik.  Starbuck mengkaji tentang fenomena 
konversi keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang   
konversi keagamaan juga tentang pengalaman 
mistik (Connolly, 2002: 192, 196).
 Beberapa sarjana yang mengkaji agama secara psikologis antara lain   S. Freud, W. James, Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox,  Ribot, Janet, Smityh and Fowler, Vande Kemp, dsb. (Whaling, 1984:  27-36).
4. Metode Antropologis.
            Metode ini memandang agama dari sudut pandang budaya  manusia. Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya  manusia (Harsojo, 1984: 221). Biasanya metode ini berjalan sejajar  dengan aliran-aliran yang ada dalam antropologi. Misalnya aliran 
evolusionisme, 
fungsionalisme, 
strukturalisme (Daradjat 
at. all., 1983: 56-60).
            Contoh dari penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam bukunya 
Primitive Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi asal-usul agama adalah 
animisme. Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya 
The Making of Religion menyimpulkan bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada dewa yang tertinggi. Akhirnya James Frazer dalam bukunya 
The Golden Bough menyimpulkan bahwa 
magi merupakan agama yang tertua. Marett dalam bukunya 
The Threshold of Religion menyimpulkan bahwa pangkal 
religi adalah suatu 
emosi  atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap  hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa  (Koentjaraningrat,1980: 46-61).
            Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode  antropologis antara lain: Edward B. Tylor, Andrew Lang, James George  Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt, Arnold vn Gennep, Bronislaw  Malinowski, Robert H. Lowie (Waardenburg, 1973: xi, xiii).
5. Metode Fenomenologis.
            Metode ini mengkaji agama dari segi essensinya. Dalam  metode ini pengkaji agama  berusaha mengenyampingkan hal-hal yang  bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa  yang difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama.
            Cara kerja metode ini adalah 
mengklasifikasi,  menamai, membandingkan dan melukiskan gejala agama dan gejala-gejala  agamani tersendiri (tertentu), dengan tidak memberikan penilaian   tentang nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama  tersendiri (tertentu), tetapi menyerahkannya kepada 
filsafat agama dan 
teologi sistematis. Filsafat agama akan menilainya dalam terang 
akal-budi yang murni, sedang teologi sistematis akan menilainya dalam 
Penyataan Ilahi atau 
Wahyu (Jongeneel, 1978: 106-107).
            Contoh dari metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya 
The Idea of the Holy mengkaji tentang yang 
kudus (holy) (Otto, !950: vii-viii). Gerardus van der Leeuw dalam bukunya 
Religion in Essence and Manifestation mengkaji tentang 
obyek agama, 
subyek  agama dan obyek dan subyek agama dalam hubungannya satu dengan lainnya  (Leeuw, 1963: ix-xii). Mariasusai Dhavamony dalam bukunya 
Phenomenology of Religion mengkaji bentuk-bentuk 
primitif agama, 
obyek agama, agama dan pengungkapannya, pengalaman
 religius, dan tujuan agama (Dhavamony, 1995: 11-15). Annemarie Schimmel dalam bukunya 
Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam menkaji hal-hal yang 
suci  dalam Islam: alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci,  tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat suci,  Tuhan dan ciptaan-Nya (Schimmel, 1996: 7).
            Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode  fenomenologis antara lain: Ninian Smart, G. Widrengen, Friedrich Heiler,  Gustav Mensching, W. Brede Kristensen, C.J. Bleeker, R. Otto, dan  Gerardus van der Leeuw (Whaling, 1984: 64-67). Di sini tampaklah  beberapa sarjana yang di samping mengkaji agama secara fenomenologis  juga historis, yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis, karena  metode fenomenologis lahir dari ibu kandung metode historis.
6. Metode Typologis.
            Metode ini mengkaji agama atau gejala-gejala agama dengan  membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala agama yang ruwet  disusun dengan 
tipe-tipe ideal. Dalam metode ini disusunlah tipe-tipe 
mistik, 
teologi, peribadatan,
 kharisma agama, pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk agama, dsb.
            Beberapa sarjana yang menggunakan metode tipologis ini  misalnya: Max Weber, Howard Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy,  Herder, Hegel (Wach, 1961: 26).
7. Metode Perbandingan atau Komparatif.
            Dalam metode ini agama secara umum atau gejala-gejala  agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada beberapa  cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan  adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis,  perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak  terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama  sebagai keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di  dalam agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan antara  perbandingan 
transkultural dengan perbandingan 
kontekstual.  Dalam perbandingan transkultural perhatian ditujukan kepada pada cara  dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh penganut agama tersebut berbeda  dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang dalam perbandingan  kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam situasi konteks  agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga  menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional,  struktural, dsb.(Burhanuddin dan Beck, 1992: 53-56).
            Beberapa metode di atas biasanya dikenal sebagai metode yang bersifat ilmiah atau 
scientific.  A. Mukti Ali menyatakan bahwa metode ilmiah saja tidaklah cukup untuk  mendekati agama, perlu dilengkapi dengan metode lain yang khas agama  yaitu metode 
dogmatis. Oleh karena itu metode yang lengkap unruk mendekati agama adalah 
sintesis dari metode ilmiah dan dogmatis yang disebut dengan metode 
religio-scientific atau 
scientific-cum-doctrinair atau 
ilmiah-agamis (Ali, 1993: 79).   
            Berdasarkan beberapa metode yang digunakan dalam Ilimu  Perbandingan Agama di atas (historis, sosiologis, psikologis,  antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparatif) jelaslah bahwa  Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan agama. Ilmu  Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang mengkaji agama secara luas  yang bersifat ilmiah atau scientific dengan menggunakan berbagai metode  (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis,  typologies, dan komparativ) dan metode dogmatis sekaligus  (ilmiah-agamis). Metode perbandingan atau komparatif hanyalah merupakan  salah satu saja dari metode yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama.  Metode perbandingan atau komparatif yang digunakanpun lebih luas dari  persangkaan orang, yaitu sekedar membanding-bandingkan agama. Metode  perbandingan yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama lebih luas dari  pada itu, yaitu mencakup perbandingan fungsi-fungsi unsur agama dalam  konteks budaya, perbandingan terbatas dan tak terbatas, perbandingan  transkultural dan kontekstual, perbandingan melalui prinsip-prinsip  sejarah, fungsional, structural, dsb.